Kecantikan Sejati Untuk Suamiku
klik disini Sadarkah Anda bahwa kini Anda adalah seorang istri? Atau hanya menyadarinya sebagai sebuah simbol peresmian kisah cinta Anda belaka?
Namaku Aminah. Sudah setahun setengah aku menikah dengan suamiku, Ahmad. Alhamdulillah kami sudah punya rumah sendiri walaupun kecil. Aku bekerja di rumah, berjualan beberapa peralatan rumah tangga sambil membuka jasa menjahit.
Suamiku adalah seorang guru di sekolah Islam. Setiap bulan aku mendapat uang bulanan yang cukup, kugunakan untuk keperluan rumah tangga, keperluanku dan beberapa kusisihkan. Kadang sengat ngepas, oleh karena itu aku mulai bekerja di rumah sejak setahun terakhir.
Suamiku sangat baik dan pengertian. Kalau ada uang bonus, dia akan memberikannya untukku. Ahmad tidak neko-neko, yang penting bajunya rapi, bersih dan disetrika, ia tak akan boros membeli baju baru. Hal yang berbeda, terjadi padaku.
Setiap belanja di depan rumah atau arisan, pasti aku berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Mereka wangi, update fashion dan cantik-cantik. Mau belanja ke tukang sayur saja mereka sudah wangi dan berdandan.
"Cantik banget, Bu Rudi," sapaku suatu ketika pada tetangga sebelah kiri rumah. Ia tersenyum dengan lipstik merah merona dan gaya hijab terkininya, "Iya, Bu Mad. Mau ambil rapot anak hari ini di sekolah."
Bu Rudi dan keluarganya memang dari keluarga berada. Anak-anaknya disekolahkan di sekolah mahal. Pernah dalam suatu obrolan santai di sore hari, dia bercerita padaku dan ibu lainnya bahwa dia membeli tas baru karena ibu-ibu teman anaknya sangat elegan dan update fashion.
Lain halnya dengan Ibu Lina. Ia adalah tetangga sebelah kanan rumah. Ibu Lina doyan ke salon untuk perawatan wajah dan rambut. Ia juga rajin memanggil tukang manicure pedicure ke rumah. Pembantunya dua orang, yang satu mengerjakan pekerjaan rumah, yang lainnya mengurus anaknya yang masih kecil.
Saat arisan, Ibu Lina paling rajin menawari kosmetik wanita. Dia pintar sekali mempromosikan produk dagangannya. Melihatku yang sering dandan polosan, dia sering meyakinkanku untuk membeli banyak.
"Mumpung diskon, Bu Mad. Ada yang buat natural look juga kalau Bu Mad nggak suka warna terang. Beli paket ini nanti dapat potongan 20% dan bisa beli maskernya sekalian separuh harga," ujarnya seperti SPG kecantikan.
Yang namanya wanita, pasti tergiur dengan hal-hal begini. Aku pun menghabiskan sepertiga bonus dari suami untuk membeli bedak, lipstik, paket perawatan, parfum dan seperti yang dijanjikan Bu Lina, sebuah masker separuh harga. Kupikir tidak ada salahnya, kan suamiku akan senang juga kalau aku cantik.
Sejak saat itu, setiap sebelum tidur, aku tak langsung menghampiri suamiku di ranjang. Aku mencoba pakai paket perawatan tersebut dan rutin menggunakannya pagi dan malam.
"Istriku lagi perawatan nih," kata suamiku yang membaca buku di ranjang sambil tersenyum.
"Iya, Mas. Ditawarin Bu Lina. Katanya bisa bikin awet muda," kataku sambil sibuk di kaca memijat-mijat kulit wajah.
Suamiku tersenyum kecil penuh sayang dan menjawab, "Aduh, nanti aku tua sendirian nih." Aku membalasnya dengan nyengir, "Ah, Mas bisa aja."
Setelah 20an menit aku merawat wajah. Aku menghampiri suamiku. Eh, ternyata dia sudah ketiduran. Sepertinya capek sekali. Akupun hanya memberikan kecupan selamat malam, tak sempat manja-manjaan dengannya.
Keesokan harinya, aku bangun dan mandi lebih awal. Kukenakan hijab model terbaru yang beberapa hari lalu diajari oleh Bu Rudi. Biasanya aku hanya pakai hijab instan saja. Kali ini aku ingin tampil beda di depan suamiku. Aku juga menggunakan bedak baruku dan lipstik pink keunguan yang baru kubeli dari Bu Lina.
Saat menyapu di teras, Bu Rudi menggodaku, "Cieee, tambah cantik nih, Bu Mad." Aku tersenyum malu. Bahkan tukang sayur pun memujiku. Aih, jurus hijab Bu Rudi dan makeup yang kubeli dari Bu Lina memang mumpuni.
Saat memanggil suamiku untuk sarapan, aku sudah siap-siap menerima pujian darinya. Ia pun datang menghampiri. Seperti biasa, ia mencium kening dan pipiku. Namun apa yang dikatakannya?
"Wah, istriku bau bedak," ujarnya sambil tersenyum. Kemudian ia makan seperti biasa.
Kok dia biasa saja? Kok tidak memujiku cantik?
"Jilbabnya tumben pakai yang begitu, Dek?" tanya suamiku sambil menunjuk hijab turban yang aku gunakan.
"Iya, kemarin waktu arisan diajarin, Bu Rudi. Cantik nggak, Mas?" tanyaku sedikit manja.
Suamiku tertawa kecil, "Hahahaha. Cantik kok, Dek. Memangnya mau pergi ke mana?"
Aku menggeleng, "Nggak ke mana-mana. Pengen nunjukin ke Mas aja. Biar aku kelihatan cantik seperti Bu Rudi dan Bu Lina," jawabku.
Suamiku yang hendak melahap sendokannya mendadak terhenti. Ia melihat ke arahku dan tersenyum lagi. Dilahapnya sendokan yang tertunda itu, dikunyah sampai habis dan dia berkata padaku, "Jadi Aminah kira, saya suka Bu Rudi dan Bu Lina dong?"
Aku terdiam sejenak dan sedikit meringik, "Ah, Mas Mad. Ya nggak gitu. Kan supaya cantik. Bukan mau mirip Bu Rudi dan Bu Lina." Kemanjaanku ini membuatnya tertawa lagi. Setelah ia meneguk sedikit air putihnya, ia menghadap padaku dengan memegang kedua tanganku.
"Istriku sayang," ujarnya lembut. "Kalau Aminah mau cantik seperti Bu Lina dan Bu Rudi, sekarang Aminah sudah sangat berhasil. Aminah pakai hijab seperti Bu Rudi dan berdandan seperti Bu Lina," ia melempar senyum sambil menatapku dalam-dalam."Tapi," lanjutnya.
Ia menggenggam tanganku lebih erat dan hangat, "Buat saya, Aminah selalu cantik tanpa harus seperti mereka. Saya suka hijab istriku yang selama ini dipakai. Yang panjang sampai ke sini," ia menunjuk perutku dengan cara yang lucu, membuatku tersenyum geli.
"Saya juga suka wajah Aminah walau tidak seperti Bu Lina. Seperti wajah bersinar setelah disiram air wudhu. Bening," kata suamiku.
"Saya tidak melarang Aminah berdandan, ini juga cantik dan spesial. Tapi kalau boleh jujur, hari-hari saya selama ini indah sejak saya terpikat dengan Aminah yang biasanya. Jadi diri sendiri, Aminah," pungkasnya dengan senyuman terganteng yang selalu muncul ketika menasehatiku.
Diam-diam, aku kecewa karena strategiku tak berhasil. Namun di sisi lain, aku menyadari kalau hari ini ternyata aku berdandan tidak seperti diriku. Inginnya menyenangkan suami, tapi sepertinya aku lebih menyenangkan diriku sendiri dan orang lain daripada dia.
Aku ingin cantik di depan suamiku, hanya untuk suamiku. Dia yang paling tahu kecantikanku daripada orang lain. Dia yang membuatku menjadi paling cantik di dunia. Buat apa aku berhias sedemikian rupa kalau dia tidak terlalu menyukainya?
Maka sejak hari itu aku belajar untuk lebih memilih kecantikan sejati, sebagai seorang istri. Aku kembali pada hari-hariku yang menggunakan hijab biasa, mengganti lipstik pink lucu itu dengan lip balm yang biasa kupakai agar bibir tidak kering. Nanti saja pakai makeup dari Bu Lina kalau ada kondangan.
Dan yang pasti, yang selalu kutunggu adalah dia yang pagi ini bangun kesiangan dan agak terburu-buru berangkat kantor. "Selamat pagi, Cantik," sapanya sambil sedikit tergesa bersiap ke sekolah. Namun nada itu tetap menggoda dan aku suka.
Kadang aku masih berpikir aku adalah seorang wanita yang ingin diakui kecantikannya oleh banyak orang. Tapi sejak hari itu aku belajar, aku lebih menginginkan suamiku yang mengatakan aku cantik, dibanding orang lain.
sumber : vemale.com
Namaku Aminah. Sudah setahun setengah aku menikah dengan suamiku, Ahmad. Alhamdulillah kami sudah punya rumah sendiri walaupun kecil. Aku bekerja di rumah, berjualan beberapa peralatan rumah tangga sambil membuka jasa menjahit.
Suamiku adalah seorang guru di sekolah Islam. Setiap bulan aku mendapat uang bulanan yang cukup, kugunakan untuk keperluan rumah tangga, keperluanku dan beberapa kusisihkan. Kadang sengat ngepas, oleh karena itu aku mulai bekerja di rumah sejak setahun terakhir.
Suamiku sangat baik dan pengertian. Kalau ada uang bonus, dia akan memberikannya untukku. Ahmad tidak neko-neko, yang penting bajunya rapi, bersih dan disetrika, ia tak akan boros membeli baju baru. Hal yang berbeda, terjadi padaku.
Setiap belanja di depan rumah atau arisan, pasti aku berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Mereka wangi, update fashion dan cantik-cantik. Mau belanja ke tukang sayur saja mereka sudah wangi dan berdandan.
"Cantik banget, Bu Rudi," sapaku suatu ketika pada tetangga sebelah kiri rumah. Ia tersenyum dengan lipstik merah merona dan gaya hijab terkininya, "Iya, Bu Mad. Mau ambil rapot anak hari ini di sekolah."
Bu Rudi dan keluarganya memang dari keluarga berada. Anak-anaknya disekolahkan di sekolah mahal. Pernah dalam suatu obrolan santai di sore hari, dia bercerita padaku dan ibu lainnya bahwa dia membeli tas baru karena ibu-ibu teman anaknya sangat elegan dan update fashion.
Lain halnya dengan Ibu Lina. Ia adalah tetangga sebelah kanan rumah. Ibu Lina doyan ke salon untuk perawatan wajah dan rambut. Ia juga rajin memanggil tukang manicure pedicure ke rumah. Pembantunya dua orang, yang satu mengerjakan pekerjaan rumah, yang lainnya mengurus anaknya yang masih kecil.
Saat arisan, Ibu Lina paling rajin menawari kosmetik wanita. Dia pintar sekali mempromosikan produk dagangannya. Melihatku yang sering dandan polosan, dia sering meyakinkanku untuk membeli banyak.
"Mumpung diskon, Bu Mad. Ada yang buat natural look juga kalau Bu Mad nggak suka warna terang. Beli paket ini nanti dapat potongan 20% dan bisa beli maskernya sekalian separuh harga," ujarnya seperti SPG kecantikan.
Yang namanya wanita, pasti tergiur dengan hal-hal begini. Aku pun menghabiskan sepertiga bonus dari suami untuk membeli bedak, lipstik, paket perawatan, parfum dan seperti yang dijanjikan Bu Lina, sebuah masker separuh harga. Kupikir tidak ada salahnya, kan suamiku akan senang juga kalau aku cantik.
Sejak saat itu, setiap sebelum tidur, aku tak langsung menghampiri suamiku di ranjang. Aku mencoba pakai paket perawatan tersebut dan rutin menggunakannya pagi dan malam.
"Istriku lagi perawatan nih," kata suamiku yang membaca buku di ranjang sambil tersenyum.
"Iya, Mas. Ditawarin Bu Lina. Katanya bisa bikin awet muda," kataku sambil sibuk di kaca memijat-mijat kulit wajah.
Suamiku tersenyum kecil penuh sayang dan menjawab, "Aduh, nanti aku tua sendirian nih." Aku membalasnya dengan nyengir, "Ah, Mas bisa aja."
Setelah 20an menit aku merawat wajah. Aku menghampiri suamiku. Eh, ternyata dia sudah ketiduran. Sepertinya capek sekali. Akupun hanya memberikan kecupan selamat malam, tak sempat manja-manjaan dengannya.
Keesokan harinya, aku bangun dan mandi lebih awal. Kukenakan hijab model terbaru yang beberapa hari lalu diajari oleh Bu Rudi. Biasanya aku hanya pakai hijab instan saja. Kali ini aku ingin tampil beda di depan suamiku. Aku juga menggunakan bedak baruku dan lipstik pink keunguan yang baru kubeli dari Bu Lina.
Saat menyapu di teras, Bu Rudi menggodaku, "Cieee, tambah cantik nih, Bu Mad." Aku tersenyum malu. Bahkan tukang sayur pun memujiku. Aih, jurus hijab Bu Rudi dan makeup yang kubeli dari Bu Lina memang mumpuni.
Saat memanggil suamiku untuk sarapan, aku sudah siap-siap menerima pujian darinya. Ia pun datang menghampiri. Seperti biasa, ia mencium kening dan pipiku. Namun apa yang dikatakannya?
"Wah, istriku bau bedak," ujarnya sambil tersenyum. Kemudian ia makan seperti biasa.
Kok dia biasa saja? Kok tidak memujiku cantik?
"Jilbabnya tumben pakai yang begitu, Dek?" tanya suamiku sambil menunjuk hijab turban yang aku gunakan.
"Iya, kemarin waktu arisan diajarin, Bu Rudi. Cantik nggak, Mas?" tanyaku sedikit manja.
Suamiku tertawa kecil, "Hahahaha. Cantik kok, Dek. Memangnya mau pergi ke mana?"
Aku menggeleng, "Nggak ke mana-mana. Pengen nunjukin ke Mas aja. Biar aku kelihatan cantik seperti Bu Rudi dan Bu Lina," jawabku.
Suamiku yang hendak melahap sendokannya mendadak terhenti. Ia melihat ke arahku dan tersenyum lagi. Dilahapnya sendokan yang tertunda itu, dikunyah sampai habis dan dia berkata padaku, "Jadi Aminah kira, saya suka Bu Rudi dan Bu Lina dong?"
Aku terdiam sejenak dan sedikit meringik, "Ah, Mas Mad. Ya nggak gitu. Kan supaya cantik. Bukan mau mirip Bu Rudi dan Bu Lina." Kemanjaanku ini membuatnya tertawa lagi. Setelah ia meneguk sedikit air putihnya, ia menghadap padaku dengan memegang kedua tanganku.
"Istriku sayang," ujarnya lembut. "Kalau Aminah mau cantik seperti Bu Lina dan Bu Rudi, sekarang Aminah sudah sangat berhasil. Aminah pakai hijab seperti Bu Rudi dan berdandan seperti Bu Lina," ia melempar senyum sambil menatapku dalam-dalam."Tapi," lanjutnya.
Ia menggenggam tanganku lebih erat dan hangat, "Buat saya, Aminah selalu cantik tanpa harus seperti mereka. Saya suka hijab istriku yang selama ini dipakai. Yang panjang sampai ke sini," ia menunjuk perutku dengan cara yang lucu, membuatku tersenyum geli.
"Saya juga suka wajah Aminah walau tidak seperti Bu Lina. Seperti wajah bersinar setelah disiram air wudhu. Bening," kata suamiku.
"Saya tidak melarang Aminah berdandan, ini juga cantik dan spesial. Tapi kalau boleh jujur, hari-hari saya selama ini indah sejak saya terpikat dengan Aminah yang biasanya. Jadi diri sendiri, Aminah," pungkasnya dengan senyuman terganteng yang selalu muncul ketika menasehatiku.
Diam-diam, aku kecewa karena strategiku tak berhasil. Namun di sisi lain, aku menyadari kalau hari ini ternyata aku berdandan tidak seperti diriku. Inginnya menyenangkan suami, tapi sepertinya aku lebih menyenangkan diriku sendiri dan orang lain daripada dia.
Aku ingin cantik di depan suamiku, hanya untuk suamiku. Dia yang paling tahu kecantikanku daripada orang lain. Dia yang membuatku menjadi paling cantik di dunia. Buat apa aku berhias sedemikian rupa kalau dia tidak terlalu menyukainya?
Maka sejak hari itu aku belajar untuk lebih memilih kecantikan sejati, sebagai seorang istri. Aku kembali pada hari-hariku yang menggunakan hijab biasa, mengganti lipstik pink lucu itu dengan lip balm yang biasa kupakai agar bibir tidak kering. Nanti saja pakai makeup dari Bu Lina kalau ada kondangan.
Dan yang pasti, yang selalu kutunggu adalah dia yang pagi ini bangun kesiangan dan agak terburu-buru berangkat kantor. "Selamat pagi, Cantik," sapanya sambil sedikit tergesa bersiap ke sekolah. Namun nada itu tetap menggoda dan aku suka.
Kadang aku masih berpikir aku adalah seorang wanita yang ingin diakui kecantikannya oleh banyak orang. Tapi sejak hari itu aku belajar, aku lebih menginginkan suamiku yang mengatakan aku cantik, dibanding orang lain.
sumber : vemale.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar